Selasa, 15 Januari 2013

Determinan Inflasi Indonesia: Perbandingan Pendekatan Islam dan Konvensional

Oleh: Aam S. Rusydiana

Abstract

Inflation is a monetary phenomenon which always be a problem for the economist in every country. The determinant factor of increasing price can be analyzed to get the best solution. Islamic and conventional economic have different paradigm about solution that should be done. This study try to analyze the determinant of Indonesian inflation with two approaches model using Vector Auto Regression (VAR) and Vector Error Correction Model (VECM) methods.

The results of variance decomposition, show that contribution of independent variable in Islamic model is greater than conventional one with 14.8 percent and 7.4 percent, respectively. Other findings show that interest rate gives positive influence and dominant contribution to IHK than other variables both, in Islamic model (13%) and mixed model (39%). Therefore, interest system in the Indonesian economy should be reconsidered to achieve monetary stability.

JEL Classification: C32, E31, E52
Keyword: Determinan Inflasi, Sistem Moneter, VAR/VECM




I. PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Pengalaman krisis demi krisis yang menimpa ekonomi dunia dalam satu abad terakhir ini seharusnya telah menyadarkan kepada kita bahwa masalah inflasi telah berkembang menjadi persoalan yang semakin kompleks. Diawali dengan terjadinya malapetaka yang besar (the great depressions) pada tahun 1930-an, kemudian disusul dengan terjadinya krisis Amerika Latin pada dekade 1980-an, akhirnya muncul kembali pada krisis moneter di Asia pada pertengahan tahun 1997-an, adalah pengalaman ekonomi dunia dengan inflasi tingginya (hyper inflation) yang sangat merusakkan sendi-sendi ekonomi (Triono, 2006).


Secara empirik, pengaruh inflasi terhadap pertumbuhan ekonomi dapat dilihat dari krisis tahun 1997-1998 yang mengakibatkan terganggunya sektor riil. Krisis ini diawali dari krisis di sektor moneter (depresiasi nilai tukar rupiah dengan dolar) yang kemudian merambat kepada semua sektor tanpa terkecuali. Tingkat Inflasi ketika itu sebesar 77,60% yang diikuti pertumbuhan ekonomi minus 13,20%. Adapun terganggunya sektor riil tampak pada kontraksi produksi pada hampir seluruh sektor perekonomian. Tahun 1998, seluruh sektor dalam perekonomian (kecuali sektor listrik, gas, dan air bersih) mengalami kontraksi. Sektor konstruksi mengalami kontraksi terbesar yaitu 36,4%. Disusul kemudian sektor keuangan sebesar 26,6% (Hatta, 2008).

Dalam rangka mengendalikan inflasi dan menjaga stabilnya nilai mata uang, pemerintah dan otoritas moneter yang ada mengambil beberapa kebijakan baik dari segi moneter, fiskal, maupun sektor riil. Dari segi moneter, bank sentral akan menaikkan suku bunga dan pengetatan likuiditas perbankan, mengkaji efektivitas instrumen moneter dan jalur transmisi kebijakan moneter, menentukan sasaran akhir kebijakan moneter, mengidentifikasi variabel yang menyebabkan tekanan-tekanan inflasi dan memformulasikan respon kebijakan moneter.

Namun, dari paparan di atas, hakikatnya otoritas moneter hanya sebatas menyentuh permasalahan teknis atau gejala (symptom) semata. Sebaliknya, perpaduan kebijakan yang digunakan menimbulkan krisis bertambah parah. Solusi yang ditawarkan oleh para ahli dalam memecahkan permasalahan inflasi dan pengangguran secara bersamaan justru menyebabkan efek samping yang lebih buruk dari penyakitnya itu sendiri. Ini terjadi dikarenakan “obat” yang diberikan hanya sebatas menghilangkan penyakit bagian permukaan saja, sementara penyakit bagian dalamnya masih belum disembuhkan.

Penyakit bagian dalam yang belum tersentuh oleh perpaduan kebijakan di atas adalah terkait dengan hakikat mata uang itu sendiri dan sistem yang melingkupinya serta penyalahgunaan dari fungsi dasar uang sebagai alat tukar yang bertambah menjadi tidak hanya sebatas sebagai alat tukar, melainkan juga menjadi sebuah barang (komoditas) yang turut diperdagangkan dengan imbalan bunga (interest).

Menurut Chapra (2000), jika kita hendak melakukan pengobatan, maka tidak akan ada pengobatan yang efektif kecuali hal itu diarahkan kepada arus utama masalah. Contoh penyelesaian masalah yang hanya sampai kepada gejala adalah: penyelesaian krisis ekonomi dengan hanya melihat ketidakseimbangan anggaran, ekspansi moneter yang berlebihan, defisit neraca pembayaran yang terlalu besar, naiknya kecendrungan proteksionis, tidak memadainya bantuan asing dan kerja sama internasional yang tidak mencukupi dan sebagainya. Akibatnya, penyembuhannya hanya bersifat sementara, seperti obat-obatan analgesik, mengurangi rasa sakit hanya bersifat sementara. Beberapa saat kemudian, krisis muncul kembali, bahkan lebih parah, mendalam dan serius.

Lebih khusus di Indonesia, tren inflasi memperlihatkan keadaan yang cukup labil bahkan -pada satu keadaan- mencapai titik yang amat tinggi (hiperinflasi). Misalnya pada saat menjelang jatuhnya Orde Lama yang mencapai ratusan persen, atau fenomena ‘Krisis Moneter 1997’. Hal ini membuktikan bahwa pemerintah dengan Bank Indonesia sebagai kekuatan pemegang kendali moneternya, cukup kerepotan mengatasi masalah yang satu ini. Maka tidak sepenuhnya salah jika kita mengatakan bahwa inflasi adalah sebuah penyakit ekonomi.

I.2 Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui model-model determinan inflasi konvensional maupun Islam dan mencoba membuktikan apakah variabel-variabel yang ditawarkan penulis, cukup signifikan sebagai faktor determinan inflasi di Indonesia. Studi ini akan mengidentifikasi pengaruh beberapa faktor yakni: suku bunga, seigniorage, uang giral yang diciptakan bank akibat Fractional Reserve Banking System (FRBS), serta transaksi kartu kredit terhadap tingkat inflasi di Indonesia, yang dikomparasikan kontribusinya dengan model determinan inflasi konvensional.

I.3 Data dan Metodologi
Studi ini menggunakan metode kuantitatif berupa Vektor Autoregression (VAR) yang dilanjutkan dengan Vector Error Correction Model (VECM), apabila terdapat kointegrasi. Sebelumnya, data yang tersedia akan melalui beberapa uji, yakni: uji unit root, uji stabilitas model dan uji kointegrasi. Kurun waktu yang digunakan dalam penelitian ini adalah Januari 2002 sampai dengan Mei 2008. Data yang digunakan berupa data bulanan yang diambil dari berbagai institusi, terutama Bank Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar