Selasa, 15 Januari 2013

ANALISA PENGARUH VARIABEL MAKROEKONOMI TERHADAP STABILITAS PERBANKAN GANDA DI INDONESIA

ABSTRACT

Nurul Anisak. Analysis of Macroeconomic Variables Influence on Dual Banking Stability in Indonesia.

Financial instability phenomenon that happened such financial crises influenced on banking stability directly or indirectly through macroeconomic shocks.

The aim of this research is to observe which bank is more stable on dual banking system in Indonesia and the influence of macroeconomic shock on their stability using VAR/VECM method.

The result from the average of z-score shows that shariah bank is more stable than conventional bank in Indonesia (15,49% for shariah bank dan 11,75% for conventional one). FEVD shows accordingly, macroeconomic shocks influence 50.73% for the variability of conventional bank and only 6.24% for shariah bank variability. Nevertheless, it can be argued that the 2,8% of shariah bank’s market share made itself easily influenced by macroconomic shocks than conventional bank as the result from IRF quantity of shariah bank which is bigger (1.19% by conventional bank stability and -2.12% from inflation) than conventional bank (0.29% by income and 1.43% from interest rate/SBI). The research suggested that one of the best way to increase shariah bank’s stability is to accelerate shariah bank’s market share development in Indonesia.


JEL Classification : A22, G20, G28.

Keywords: Banking Stability, Dual Banking System



BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Keberhasilan suatu sistem keuangan dapat dinilai dari beberapa hal, antara lain dilihat dari kinerjanya dalam mengalokasikan sumber daya perekonomian secara optimal sehingga mampu mendorong pertumbuhan ekonomi, serta dilihat dari stabilitas sistem keuangan tersebut dalam menghadapi berbagai guncangan (Ascarya dan Yumanita, 2009). Sistem keuangan Indonesia secara keseluruhan makin berkembang luas ditandai dengan bermunculannya lembaga-lembaga keuangan serta instrumen keuangan yang ada di dalamnya. Kompleksitas dan keragaman pun berkembang ditandai dengan perkembangan lembaga keuangan syariah yang terdiri dari Lembaga Keuangan Bank (LKB) maupun Lembaga Keuangan Non Bank (LKNB) serta instrumen-instrumen di dalamnya yang dinilai lebih aman dan stabil karena sistem bagi hasil (profit and loss sharing) dan kepastian akad di dalamnya.


Ekonomi Islam diyakini memberikan solusi untuk membangun sistem keuangan syariah yang lebih stabil dan aman karena terbebas dari riba, maysir, dan gharar yang selama ini terdapat dalam sistem keuangan konvensional. Terbukti dengan banyak penelitian empiris yang membuktikan bahwa sistem keuangan dan perbankan Islam secara Internasional lebih stabil jika dibandingkan sistem keuangan konvensional seperti Iqbal (2001), Iqbal dan Molyneux (2006), Čihák, et al. (2008), Ascarya (2009a), Ascarya, et al. (2009). Instabilitas keuangan tersebut dapat dieksplorasi dengan melihat bagaimana guncangan ekonomi yang biasa terjadi saat krisis direspon oleh stabilitas perbankan konvensional dan syariah, sehingga diketahui sistem manakah yang lebih stabil. 

Krisis telah terjadi di berbagai belahan dunia secara berulang dari masa ke masa sehingga menurut Laeven dan Valencia (2008), sepanjang tahun 1970-2007 terdapat 447 krisis yang terbagi menjadi 395 krisis keuangan (krisis perbankan, krisis mata uang dan krisis pembayaran hutang pemerintah), 42 twin crisis[1] dan 10 triple crisis[2]. Adapun krisis yang melanda Indonesia dan berdampak signifikan adalah seperti yang terjadi pada krisis multidimensi 1997-1998 dan krisis keuangan global pada 2007-2008 baru-baru ini.

Krisis keuangan 1997-1998 di Indonesia merupakan krisis yang memberikan beberapa dampak signifikan bagi stabilitas perbankan Indonesia. Diantara dampak yang ditimbulkan adalah inflasi yang melonjak menjadi 77,6%, pertumbuhan ekonomi yang merosot hingga -13,2% (Hatta dalam Ascarya, 2008) dan juga depresiasi nilai tukar rupiah yang mencapai angka Rp 10.000 / dolar AS menyebabkan terjadinya krisis perbankan karena kolapsnya beberapa bank swasta yang gagal membayar pinjamannya dalam bentuk mata uang asing (US Dollar). Pada saat itulah Bank Indonesia memutuskan untuk melakukan langkah-langkah penyelamatan bank-bank swasta. Sehingga pada 1 Nopember 1997 sebanyak 16 bank dilikuidasi, 7 bank dibekukan operasinya pada April 1998 dan pada 13 Maret 1999 terdapat 38 bank yang dilikuidasi (Surifah,2002). Berbeda dengan bank umum konvensional yang mengalami instabilitas, bank umum syariah justru memperlihatkan kestabilannya yang ditunjukkan dengan dikategorikan Bank Muamalat Indonesia sebagai bank sehat yang tidak berpotensi untuk kolaps atau bangkrut pada krisis 1997-1998 (berdasarkan pada hasil pengumuman Badan Pengawas Perbankan Nasional (BPPN) 13 Maret 1999).  

Krisis baru-baru ini yang terjadi adalah krisis yang terjadi pada tahun 2007-2008 yang dikenal dengan subprime mortgage crises. Berawal dari krisis macet perumahan di Amerika pada semester akhir 2007, dalam hitungan bulan krisis tersebut menyebar kepada sektor keuangan dan juga sektor riil di berbagai Negara kawasan Eropa dan Amerika. Akibat lebih lanjut dari krisis finansial global ini adalah ekonomi dunia yang mengalami perlambatan sangat tajam pada triwulan terakhir 2008. AS, inggris, jepang serta negara maju lainnya mengalami fase resesi yang cukup serius pada tahun 2009 (Subekti, 2009). Banyaknya perusahaan investasi perumahan yang bangkrut mulai April 2007 seperti New Century Financial dan Shancae Landesbank Jerman dan Lembaga Keuangan Jerman (IKB) kehilangan investasi subprime mortgage dan dalam bentuk sekuritas sebesar USD 1 Miliar (Tempo dalam Depkominfo, 2010). Bukti dampak negatif krisis keuangan global 2008 pun bertambah dengan bangkrutnya beberapa perusahaan investasi raksasa seperti Bear Stearns, Fannie Mae, Freddie Mac, dan sekaliber Lehman Brothers (September 2008). Kejadian inilah yang mengakibatkan bank-bank Internasional di luar AS terkena dampak serius karena menginvestasikan dana nasabahnya pada sekuritas investasi perumahan di AS. Sehingga kebijakan bail out dan biaya stimulus untuk mempercepat pemulihan ekonomi pun tidak bisa dielakkan. 

Dampak krisis keuangan 2008 yang dialami Indonesia secara langsung terhadap variabel makroekonomi adalah indikator IHSG yang terus menurun akibat terjadinya capital outflow besar-besaran di pasar saham dan kenaikan nilai tukar mata uang rupiah terhadap dolar AS. Salah satu penyebabnya anjloknya IHSG adalah kebijakan negara maju yang terkena imbas krisis dengan menarik dana-dana investasi yang ada di negara berkembang untuk bisa menciptakan gairah investasi dalam negeri yang sebelumnya lesu akibat krisis. Hal itu dibuktikan dengan pergerakan IHSG yang terus menurun dari titik puncak 2.830,26 pada Januari 2008 menjadi 1.111,39 pada 28 Oktober 2008 walaupun pemerintah telah melakukan suspen perdagangan selama 2 hari, yaitu 9 dan 10 Oktober 2008 ( lihat Grafik 1.1). Capital outflow yang ditunjukkan adalah penurunan nilai kapitalisasi saham BEI dari sebelumnya Rp. 1.995 triliun pada Februari 2008 menjadi Rp. 993 triliun pada November 2008, atau terjadi penurunan modal sebesar Rp. 1.002 triliun.

(Pemilik blog sbg salah satu pembimbing)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar